Jumat, 08 Juli 2011

HUBUNGAN AGAMA DAN ADAT DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JAMBI KHUSUSNYA BUNGO

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan Laporan Hasil Diskusi Sejarah Melayu Budaya jambi (SKMJ) denagn berjudul “Hubungan Agama Dan Adat Dalam Kehidupan Masyarakat Jambi Khususnya Bungo”. Tidak lupa kami ucapkan kepada Bapak Rifa’I Abtes selaku dosen pembimbing kami dalam menyelesaikan Laporan Hasil Diskusi ini. Selain itu terimakasih kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelessaikan tulisan ini. Laporan Hasil Diskusi ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir semester dalam bidang study Sejarah Melayu Budaya jambi (SKMJ).
Kami menyadari bahwa Laporan Hasil Diskusi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kemaslahatan bersama. Semoga dengan selesainya Laporan Hasil Diskusi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Akhir kata kami ucapkan terima kasih yang sebasar-besarnya atas segala bantuan semua pihak dalam pembuatan Laporan Hasil Diskusi ini.


Muara bungo, Juni 2010

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Tujuan dan Kegunaan 4
1.3 Metode Penulisan 4

BAB II HUBUNGAN AGAMA DAN ADAT DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JAMBI KHUSUSNYA BUNGO 5
2.1 Adat Dan Agama Dalam Kehidupan Sosial . 5
2.2 Adat Jambi (Bungo) Dan Agama Islam . 12
2.3 Adat Jambi Yang Bersendi Syara’ 17

BAB III PENUTUP 22
3.1 Kesimpulan 22
3.2 Saran 23





BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di tengah kehidupan kini, terasa satu fenomena kecintaan budaya luar (asing) berat menghimpit. Pengaruhnya ke perubahan perilaku masyarakat, berupa pengagungan materi (materialistic) secara berlebihan, amat kentara. Kecenderungan memisah kehidupan dari supremasi agama (sekularistik) makin kuat. Pemujaan kesenangan indera dan kenikmatan badani (hedonistik), susah dihindari. Hakikinya, perilaku umat mulai menjauh dari nilai-nilai budaya luhur.
Dalam masyarakat nagari di Kabupaten Bungo, kaedah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, dapat saja terabaikan. Keadaan ini menjadi lebih parah, ketika masyarakat malas menambah ilmu, dan enggan berprestasi. Sehingga ikut mengundang kriminalitas, sadisme, dan krisis secara meluas. Pergeseran budaya yang mengabaikan nilai-nilai Bungoa telah menimbulkan penyakit sosial kronis, gemar berkorupsi, lemah aqidah tauhid, perilaku tidak Islami, dan lalai ibadah.
Paradigma giat merantau dan badagang sambil menuntut ilmu, bergeser ke menumpuk materi, mengabaikan ilmu dan keterampilan. Lahirlah ketidakberdayaan generasi. Ketertinggalan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, lemah minat menyerap informasi dan komunikasi, menjadi penghalang pencapaian keberhasilan di segala bidang. Hilang network, menjadi titik lemah penilaian terhadap generasi bangsa.
Tantangan berat mesti diatasi kejelian menangkap peluang. Peningkatan kualitas diri, dan mendorong proses pembelajaran terpadu (integrated). Meraih pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Pengamalan contoh baik (uswah) dari akhlak Bungoa (syari’at, etika religi), serta nilai luhur adat istiadat Minangkabau.

1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dan kegunaan penulisan Lporan Hasil Diskusi ini adalah untuk:
1. Untuk menambah pengetahuan serta diharapkan bermanfaat bagi kita semua.
2. untuk meminimalisasikan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam masyarakat social.
3. Memenuhi tugas akhir semester dalam bidang studi Sejarah Melayu Budaya Jambi (SMBJ).
4.
1.3 Metode Penulisan
Dalam penulisan Laporan Hasil Diskusi ini penulis mempergunakan metode observasi dan kepustakaan. Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah: Studi Pustaka, dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan denga penulisan makalah ini. Observasi, yaitu penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap objek yang akan dijadikan bahan makalah.
BAB II
HUBUNGAN AGAMA DAN ADAT DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JAMBI KHUSUSNYA BUNGO


2.1 ADAT DAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Setiap manusia, baik sebagai individu atau anggota masyarakat selalu membutuhkan bantuan orang lain. Dalam interaksi sosial, setiap individu bertindak sesuai dengan kedudukan, status sosial, dan peran yang mereka masing-masing. Tindakan manusia dalam interaksi sosial itu senantiasa didasari oleh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam hal in kami akan menyampaikan tentang norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pembelajaran ini diharapkan mampu :mendeskripsikan hakikat normanorma, kebiasaan, adat istiadat dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat; menjelaskan arti penting hukum bagi masyarakat; dan menerapkan norma-norma, kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Manusia dilahirkan dan hidup tidak terpisahkan satu sama lain, melainkan berkelompok. Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu.
Interaksi yang kita lakukan pasti ada kepentingannya, sehingga bertemulah dua atau lebih kepentingan.
Pertemuan kepentingan tersebut disebut “kontak“. Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua macam kontak, yaitu:
1. Kontak yang menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentinganyang bertemu saling memenuhi. Misalnya, penjual bertemu dengan pembeli.
2. Kontak yang tidak menyenangkan, yaitu jika kepentingan-kepentingan yang bertemu bersaingan atau berlawanan. Misalnya, pelamar yang bertemu dengan pelamar yang lain, pemilik barang bertemu dengan pencuri.
Mengingat banyaknya kepentingan, terlebih kepentingan antar pribadi, tidak mustahil terjadi konflik antar sesama manusia, karena kepentingannya saling bertentangan. Agar kepentingan pribadi tidak terganggu dan setiap orang merasa merasa aman, maka setiap bentuk gangguan terhadap kepentingan harus dicegah. Manusia selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan tertib, aman, dan damai, yang menjamin kelangsungan hidupnya.
Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya, harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial. Menurut Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut oleh Han Kelsen “man is a social and politcal being”, artinya manusia itu adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yangterbawa oleh kodrat sebagai mahluk sosial itu selalu berorganisasi. Kehidupan dalam kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud dengan hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari kehadirannya masingmasing.
Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi interaksi sosial
yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu ketertiban.
Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.
Setiap individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan individu atau kelompok lainnya. Interaksi sosial mereka juga senantiasa didasari oleh adat dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya interaksi sosial di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lain sebagainya. Masyarakat yang menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.
Tata itu lazim disebut kaidah (berasal dari bahasa Arab) atau
norma (berasal dari bahasa Latin) atau ukuran-ukuran. Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud perintah dan larangan menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik. Ada bermacam-macam norma yang berlaku di masyarakat. Macam-macam norma yang telah dikenal luas ada empat, yaitu:
a. Norma Agama : Ialah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, laranganlarangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat. Contoh norma agama ini diantaranya ialah:
a) “Kamu dilarang membunuh”.
b) “Kamu dilarang mencuri”.
c) “Kamu harus patuh kepada orang tua”.
d) “Kamu harus beribadah”.
e) “Kamu jangan menipu”.

b. Norma Kesusilaan : Ialah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”.
b) “Kamu harus berlaku jujur”.
c) “Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”.
d) “Kamu dilarang membunuh sesama manusia”.

c. Norma Kesopanan : Ialah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil atau membawa bayi”.
b) “Jangan makan sambil berbicara”.
c) “Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat” dan.
d) “Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.

Kebiasaan merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku dalam masyarakat yang dilakukan berulangulangmengenai sesuatu hal yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup . Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan dengan adat istiadat.
Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksudmengatur tata tertib. Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun Pada umumnya adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat.

d. Norma Hukum : Ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.
b) “Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti kerugian”, misalnya jual beli.
c) “Dilarang mengganggu ketertiban umum”.

Hukum biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan yang tertulis, atau disebut juga perundang-undangan. Perundang-undangan baik yang sifatnya nasional maupun peraturan daerah dibuat oleh lembaga formal yang diberi kewenangan untuk membuatnys.Oleh karena itu,norma hukum sangat mengikat bagi warga negara.
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya. Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya “kamu tidak boleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama, kesusilaan, dan adat juga berisi suruhan yang sama.
Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”, “penipuan”, dan lain-lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan karena masing-masing memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil). Norma kesopanan sumbernya keyakinan masyarakat yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya peraturan perundang-undangan.

2.2 ADAT JAMBI (BUNGO) DAN AGAMA ISLAM
Wujud kebudayaan sebagai sistem nilai budaya berisikan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Oleh masyarakat pendukungnya, nilai budaya itu di hormati, dijunjung tinggi dan diyakini kebenarannya, mengikat bahkan ada sangsi bagi pelanggarnya. Nilai budaya ini bersifat abstrak karena lokasinya ada di dalam alam pikir manusia pendukungnya. Istilah lain untuk menyebut sistem nilai budaya itu adalah adat atau adat-istiadat.
Adat adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat lokal, karena itu berbeda masyarakat maka berbeda pula adatnya. Menurut adat Melayu Jambi, adat itu dibedakan menjadi 2 bagian yakni adat berbuhul mati dan adat berbuhul sentak. Adat berbuhul mati adalah aturan-aturan dalam masyarakat yang berurat berakar dalam masyarakat sejak zaman bengin (purbakala). Biasanya adat seperti ini adalah norma-norma atau aturan-aturan yang sulit dipisahkan dengan unsur kepercayaan (agama). Menurut para ahli hukum adat inilah yang sebenarnya adat. Sedangkan adat berbuhul sentak adalah adat yang teradatkan, karena adat ini dapat diubah dan memang akan mengalami perubahan sepanjang zaman. Adat mencakup hampir semua aspek kehidupan umat manusia, oleh karena itu adat bukanlah benda mati melainkan satu nilai budaya yang hidup dalam masyarakat pendukungnya. Bila adat itu mati dan terhenti maka masyarakat adat itu dengan sendirinya ikut pula mati. Oleh karena itu suatu prinsip dasar dalam pelestarian dan pengembangan budaya ialah menjaga agar d dalam masyarakat tidak terjadi kekosongan kegiatan berbudaya. Karena kekosongan itu merupakan celah masuk (entry point) bagi berkembangnya unsur budaya dari luar. Berikut ini adalah peringatan atau pesan Ninik Puyang akan pentingnya menjaga / melestarikan budaya (adat) ;
Hidup Dikandung Adat
Mati Dikandung Tanah
Mati Anak Gempar Serumah
Mati Adat Gempar Sebangso
Biar Mati Anak Daripado Mati Adat.

Supaya adat itu dapat mendorong kerukunan dan kedamaian maka hukum adat telah mengatur kehidupan bermasyarakat. Sehingga antara adat dan hukum adat ibarat dua sisi mata uang yang saling mendukung dalam menuju kesejahteraan hidup. Adat berfungsi menjaga ketertiban masyarakat, sedangkan hukum adat berisi kaidah-kaidah (aturan) dalam masyarakat yang bertujuan melindungi dan menegakan ketertiban masyarakat itu. Jadi adat dan hukum adat adalah salah satu unsur kebudayaan sebagai satu produk dari masyarakat adat.
Kegiatan hidup masyarakat dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tatanan (”system”) pada berbagai tataran (”structural levels”). Yang paling mendasar adalah tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya berupa Pandangan Dunia dan Pandangan Hidup (PDPH), yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa sikap umum dan perilaku serta tata-cara pergaulan masyarakat. PDPH ini merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan berbagai lembaga formal maupun informal.
Pranata sosial budaya (”social and cultural institution”) adalah batasan-batasan perilaku manusia atas dasar kesepakatan bersama yang menjadi ”kesadaran kolektif” di dalam pergaulan masyarakat berupa seperangkat aturan main dalam menata kehidupan bersama.
PDPH merupakan pedoman serta petunjuk perilaku bagi setiap dan masing-masing anggota masyarakat di dalam kehidupan sendiri-sendiri maupun bersama-sama. PDPH memberikan ruang (dan sekaligus batasan-batasan) yang merupakan ladang bagi pengembangan kreatif potensi manusiawi dalam menghasilkan buah karya sosial, budaya dan ekonomi serta karya-karya pemikiran intelektual yang merupakan mesin perkembangan dan pertumbuhan masyarakat di segala bidang kehidupan.
PDPH masyarakat di Kabupaten Bungo yang sejak dahulu telah melahirkan angkatan-angkatan “generasi emas” adalah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”(ABS-SBK). ABS-SBK adalah PDPH yang menata seluruh kehidupan masyarakat Minangkabau dalam arti kata dan kenyataan yang sesungguhnya.
Dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan, generasi Minangkabau dengan filosofi adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah mampu berpegang pada sikap istiqamah (konsistensi). Fatwa adat menyebutkan,
“Alang tukang tabuang kayu,
Alang cadiak binaso adat,
Alang alim rusak Bungoo,
Alang sapaham kacau nagari.
Dek ribuik kuncang ilalang,
Katayo panjalin lantai,
Hiduik jan mangapalang,
Kok tak kayo barani pakai.
Baburu kapadang data,
Dapeklah ruso balang kaki,
Baguru kapalang aja,
Bak bungo kambang tak jadi”.
Kalangan terdidik (el-fataa) di Minangkabau khususnya selalu hidup dalam bimbingan Bungoa Islam. Dengan bimbingan Bungoa dalam kehidupan, maka ukhuwah persaudaraan (ruh al ukhuwwah) terjalin baik. Kekerabatan yang erat menjadi benteng kuat dalam menghadapi berbagai tantangan. Kekerabatan tidak akan wujud dengan meniadakan hak-hak individu orang banyak. Tamak dan loba akan mempertajam permusuhan. Bakhil akan meruntuhkan persaudaraan dan perpaduan. Setiap Muslim wajib mengagungkan Allah dan menghargai nikmatNya yang menjadi sumber dari rezeki, kekuatan, kedamaian dan membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya.
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang beriman yang mengeluarkan mereka dari berbagai kegelapan kepada nur(hidayah-Nya). Dan orang-orang kafir itu pelindung-pelindung mereka ialah taghut ( sandaran kekuatan selain Allah) yang mengeluarkan mereka daripada nur (hidayah Allah) kepada berbagai kegelapan.
Tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya (Meta-environment) yang dibentuk ABS-SBK sebagai PDPH membentuk lembaga pemerintahan ”tigo tungku sajarangan” yang menata kebijakan “macro-level” (dalam hal ini “adat nan sabana adat, adat istiadat, dan adat nan taradat) bagi pengaturan kegiatan kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan “anak nagari”, begitu pula di dapati di Kabupaten Bungo. Dengan demikian setiap dan masing-masing anggota pelaku kegiatan sosial, budaya dan ekonomi pada tingkat sektoral (meso-level) maupun tingkat perorangan (micro-level) dapat mengembangkan seluruh potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Kabupaten Bungo yang unggul dan tercerahkan. Maka dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Kabupaten Bungo harus tampil menjadi salah satu contoh dari Masyarakat Madani Yang Beradat dan Beradab.

2.3 ADAT JAMBI YANG BERSENDI SYARA’
Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah atau lengkapnya "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabuLLah, syarak mangato adat mamakai".
1. Hukum adat berdasarkan hukum agama, hukum agama berdasarkan Alquran.
2. Segala perbuatan atau pekerjaan hendaknya selalu mengingat aturan adat dan agama, jangan hendaknya bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Pokok pikiran ”alam takambang jadi guru” menunjukkan bahwa para pemikir (filsuf) Adat Minangkabau (Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan, menurut versi Tambo Alam Minangkabau) meletakkan landasan filosofis Adat Minangkabau atas dasar pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bekerjanya alam semesta serta dunia ini termasuk manusia dan masyarakatnya. Mereka telah menjadikan alam semesta menjadi ”ayat dari Nan Bana” atau ayat kauniyah.
Secara jujur, kita harus mengakui bahwa adat tidak mungkin lenyap, manakala orang Minangkabau memahami dan mengamalkan fatwa adatnya.
“Kayu pulai di Koto alam,
batangnyo sandi ba sandi,
Jikok pandai kito di alam,
patah tumbuah hilang baganti”.
Secara alamiah (natuurwet) adat itu akan selalu ada dalam prinsip. Jika patah akan tumbuh (maknanya hidup dan dinamis), mengikuti perputaran masa yang tidak mengenal kosong. Setiap kekosongan akan selalu terisi, dengan dinamika akal dan kekuatan ilmu (raso jo pareso). Diperkuat sendi keyakinan, bahwa yang hilang akan berganti.
Di sini kita menemui kearifan menangkap perubahan yang terjadi,
“sakali aie gadang,
sakali tapian baralieh,
sakali tahun baganti,
sakali musim bakisa”.
Setiap perubahan tidak akan mengganti sifat adat. Penampilan adat di alam nyata mengikut zaman dan waktu. “Kalau di balun sabalun kuku, kalau dikambang saleba alam, walau sagadang biji labu, bumi jo langit ado di dalam”. Keistimewaan adat ada pada falsafah adat mencakup isi yang luas.
Konsep ”Adaik basandi ka mupakaik, mupakaik basandi ka alua, alua basandi ka patuik, patuik basandi ka Nan Bana, Nan Bana Badiri Sandirinyo” menunjukkan bahwa sesungguhnya para filsuf dan pemikir yang merenda Adat Minangkabau telah mengakui keberadaan dan memahami ”Nan Bana, Nan Badiri Sandirinyo”. Artinya, kekuasaan dan kebenaran hakiki ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini dapat dimaknai sebagai landasan masyarakat bertauhid.
Perputaran harmonis dalam “patah tumbuh hilang berganti”, menjadi sempurna dalam “adat di pakai baru, kain dipakai usang”.
Adat tidak mesti mengalah kepada yang tidak sejalan. Adat adalah aturan satu suku bangsa. Menjadi pagar keluhuran tata nilai yang dipusakai. Bertanggungjawab penuh menjaga diri dan masyarakat kini, jikalau tetap dipakai, dan akan mengawal generasi yang akan datang. Adat Minangkabau dibangun di atas ”Peta Realitas” yang dikonstruksikan secara kebahasaan (”linguistic construction of realities”) yang direkam terutama lewat bahasa lisan berupa pepatah, petatah petitih, mamang, bidal, pantun yang secara keseluruhan dikenal juga sebagai Kato Pusako.
Lewat berbagai upacara Adat serta kehidupan masyarakat se-hari-hari, Kato Pusako menjadi rujukan di dalam penerapan PDPH di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan menjadi Peta Realitas sekaligus Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan Masyarakat Minangkabau.
Sesudah ABS-SBK, terjadi semacam lompatan kuantum (”quantum leap”) di dalam budaya Minangkabau, dengan bertumbuh-kembangnya manusia-manusia unggul dan tercerahkan yang muncul menjadi tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sejarah kawasan ini. Dengan Adat Basandi Syarak Syarak, dan Syarak Bansandi Kitabullah (ABS-SBK) maka tali hubungan antara Adat Sebagai Pedoman serta Petunjuk Jalan Kehidupan itu dibuhul-eratkan dengan Kitabullah yakni Al Qur’an.
Al Qur’an adalah Petunjuk/Pedoman Hidup Bagi Manusia Dan Penjabaran Rinci Dan Jelas Dari Petunjuk/Pedoman Serta Tolok Ukur Kebenaram. (“hudal linnaasi wa bayyinatin minal huda wal furqaan” Q.S 2, Al-Baqarah Ayat 184). Penerapan Al-Qur’an yang merupakan Ajaran Allah dan menurut Teladan Nabi Muhammad SAW (Sunnah Rasulullah) telah mentransformasikan masyarakat menjadi Pembawa Obor Peradaban. Selama tidak kurang dari tujuh abad, kebudayaan dan peradaban yang ditegakkan atas Ajaran Al Qur’an telah mendominasi Dunia Beradab.
Itu pulalah yang tampaknya terjadi dengan Masyarakat Minangkabau ketika menerapkan ABS-SBK secara “murni dan konsekwen”. Walau berada dalam lingkungan nasional dan internasional yang sulit penuh tantangan, yaitu zaman kolonialisme dan perjuangan melawan penjajahan, budaya Minangkabau yang berazaskan ABS-SBK telah terbukti mampu menciptakan lingkungan yang menghasilkan jumlah yang signifikan tokoh-tokoh yang menjadi pembawa obor peradaban di kawasan ini. Rentang sejarah itu membuktikan bahwa penerapan ABS-SBK telah memberikan lingkungan sosial budaya yang subur bagi seluruh anggota masyarakat dalam mengembangkan segenap potensi dan kreativitasnya sehingga terciptalah manusia dan masyarakat Minangkabau yang unggul dan tercerahkan.




























BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masyarakat maju yang tamaddun, adalah masyarakat berbudaya, beradat dan berakhlaq. Akhlaq adalah melaksanakan ajaran Agama (Islam). Memerankan nilai-nilai tamaddun (Bungoa dan adat budaya) di dalam tatanan kehidupan masyarakat, menjadi landasan kokoh meletakkan dasar pengkaderan (re-generasi).
Pengkaderan melalui strategi pendidikan mesti berasas akidah Agama (Islam) yang jelas tujuannya. Membuat generasi dengan tasawwur (world view) yang integratik dan umatik, sifatnya bermanfaat untuk semua, terbuka dan transparan.
Generasi bangsa dapat berkembang dengan pendidikan akhlak, budi pekerti dan penguasaan ilmu pengetahuan. Akhlak karimah adalah tujuan sebenar dari proses pendidikan. Akhlak adalah wadah diri menerima ilmu-ilmu yang benar, membimbing umat ke arah amal karya, kreasi, inovasi, motivasi yang shaleh. Sesungguhnya akhlak adalah jiwa pendidikan, inti ajaran Agama, buah dari keimanan.
Apabila sains dipisah dari aqidah syariah dan akhlak, akan lahirlah saintis tak bermoral Agama, dengan ilmunya banyak, tetapi imannya tipis, dengan kepedulian di tengah bermasyarakat sangat sedikit. Ilmu tanpa Agama lebih menjauhkan kesadaran tanggung jawab akan hak dan kewajiban asasi individu secara amanah, sebagai nilai puncak budaya Islami yang sahih.
Sikap penyayang dan adil, mengikat hubungan harmonis dengan lingkungan, ulayat, dan ekosistim, menjadi lebih indah dan sempurna. Sesuatu akan selalu indah selama benar. Budaya berakhlak mulia adalah wahana kebangkitan bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kekuatan budayanya. Memperkaya warisan budaya dengan aqidah tauhid, istiqamah pada syari’at agama Islam, akan menularkan ilmu pengetahuan yang segar, dengan tradisi luhur.

3.2 Saran
Pertama-tama penulis menyarankan kepada pembaca untuk mengetahui adat masyarakat Jambi khusunya Bungo dan penerapannya dalm kehidupan ssehari-hari.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Kami berharap untuk pembuatan makalah selanjutnya akan lebih baik. Kami juga berharap makalah inidapatt bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

1 komentar: